Kamis, 08 Januari 2009

PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

I.PENDAHULUAN

Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara perkara yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum dan hasil pembahasan permasalahan Surat Dakwaan dalam Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 1993, ternyata kelagaian penuntutan pada umumnya bermula pada kekurangcermatan Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan Surat Dakwaan, dan pada sisi lain membawa konsekuensi berupa timbulnya berbagai kendala dalam upaya pembuktian dakwaan.

Jaksa Penuntut Umum perlu menyadari bahwa Surat Dakwaan merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap.

Mengingat bahwa peranan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dalam perneriksaan perkara pidana di Pengadilan dan Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umurn dalam penyusunan Surat Dakwaan.

Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan, maka kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan perlu terus ditingkatkan dan sehubungan dengan itu diperlukan bimbingan serta pengendalian agar para Jaksa Penuntut Umum mampu menyusun Surat Dakwaan secara profesional, efektif dan efisien guna mengoptimalkan keberhasilan tugas kejaksaan dibidang penuntutan.


II.FUNGSI SURAT DAKWAAN

Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan.

Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan :

a.Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
b.Bagi Penutut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;
c.Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

III.DASAR PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

1.Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat Surat Dakwaan (pasal 14 huruf d KUHAP);
2.Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan,yang berwenang mengadili (pasal 137 KUHAP);
3.Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (pasal 140 ayat 1 KUHAP).
Surat Dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai ketentuan Undang Undang Pidana yang bersangkutan.


IV.SYARAT SYARAT SURAT DAKWAAN.

Pasal 143 (2) KUHAP menetapkan syarat syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum dan identitas lengkap terdakwa. Syarat syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi :
a.Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pernbuat Surat Dakwaan;
b.Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Disamping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu Tindak Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil. meliputi :
a.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan;
b.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan.
Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata "cermat" paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik baiknya.

Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur unsur tersebut harus terlukis didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan.

Secara materiil. suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang :
1)Tindak Pidana yang dilakukan;
2)Siapa yang melakukan Tindak Pidana tersebut;
3)Dimana Tindak Pidana dilakukan;
4)Bilamana/kapan Tindak Pidana dilakukan;
5)Bagaimana Tindak Pidana tersebut dilakukan;
6)Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik materiil).
7)Apakah yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana tersebut (delik delik tertentu);
8)Ketentuan ketentuan Pidana yang diterapkan.

Komponen komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak Pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiii).

Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi.

Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).



V.BENTUK SURAT DAKWAAN

Undang Undang tidak menetapkan bentuk Surat Dakwaan dan adanya berbagai bentuk Surat Dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek, sebagai berikut:
1.Tunggal
Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP).

2.Altermatif
Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan.

Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Misalnya didakwakan
Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau
Kedua : Penadahan (pasal 480 KUHP).

3.Subsidair.
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.
Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.
misalnya didakwakan :
Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP),
Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP),
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP).

4.Kumulatif.
Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tigas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri.
Misalnya didakwakan :

Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan
Kedua : Pencurian dengan pernberaten (363 KUHP), dan
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).

5.Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
Misalnya didakwakan
Kesatu :
Primair : Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP)
Subsidair : Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP);
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP);
Kedua :
Primair : Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP);
Subsidair : Pencurian (pasal 362 KUHP), dan

Ketiga :
Perkosaan (pasal 285 KUHP).


VI.TEKNIK PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

Teknik pembuatan Surat Dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan.

1.Pemilihan Bentuk.

Bentuk Surat Dakwaan disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam Undang Undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.

2.Teknis Redaksional

Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur Tindak Pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat kallimat efektif

Tindak Pidana Kehutanan Sebagai Perkara (PK. Ting)

Sehubungan dengan penanganan perkara Tindak Pidana Kehutanan diminta perhatian para Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia akan hal hal sebagai berikut:

I. Kwalifikasi Tindak Pidana Kehutanan adalah Perkara Penting (PK. Ting).

1. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE 002/J.A/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, antara lain ditetapkan bahwa ti ndak pidana Kehutanan sebagaimana disebutkan dalam Undang undang dan Peraturan Perundang Undangan lainnya yang terkait sebagai perkara penting (PK. Ting).
2. Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada tanggal 30 September 1999, serta dinyatakan tidak berlakunya Undang Undang Nomor 5 tahun 1967, maka dengan sendirinya tindak pidana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE 002/ J.A/4.1995 tersebut adalah tindak pidana Kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999.
3. Akhir akhir ini tindak pidana Kehutanan dalam bentuk penebangan kayu illegal (Illegal Logging) dan peredaran hasil hutan illegal tambah merajalela dihampir seluruh wilayah Indonesia.
Namun di sisi lain, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri banyak yang tidak melaporkan adanya penanganan perkara Kehutanan tersebut ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum).
Hal ini menyulitkan Kejaksaan Agung dalam memantau penanganan perkara Kehutanan tersebut, disamping rendahnya tuntutan JPU, hal tersebut, disamping rendahnya tuntutan JPU, hal tersebut mengundang tanda Tanya.
4. Begitu besarnya perhatian Pemerintah terhadap tindak pidana Kehutanan ini, maka pada tanggal 19 April 2001 telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional tanjung Putting.

Dalam dictum keempat dari Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2001 tersebut, memerintahkan kepada Jaksa Agung, agar:

1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum di lingkungah Kejaksaan yang terlibat kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan Ilegal;
2. Mempercepat proses yustisi terhadap perkara pelanggaran atau kejahatan yang diserahkan oleh Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.
II. Berdasarkan hal hal di atas agar para Kepala Kejaksaan Tinggi/Kepala Kejaksaan Negeri di Seluruh Indonesia untuk:
1. Melakukan Pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian perkara Kehutanan (UU No. 41 tahun 1999) sebagai perkara penting (PK. Ting).
2. Selalu melaporkan penanganan perkara Kehutanan tersebut dalam berpedoman pada:
a. Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS 004/J.A/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 dan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R 16/E/3/ 1994 tanggal 11 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum.
b. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R 05/E/ES/2/1995 tanggal 9 Pebruari 1995 tentang Pelaporan Pengendalian Perkara Tindak Pidana Umum.
3. Mempercepat proses penanganan setiap perkara Kehutanan yang diterima dari Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.
4. Meminta perhatian setiap warga Kejaksaan agar tidak terlibat dalam tindak Pidana Kehutanan dalam bentuk apapun, serta melaporkan ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia, apabila ada oknum Kejaksaan yang terlibat dalam tindak pidana Kehutanan tersebut.

III. Diperintahkan agar Saudara melaporkan penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Kehutanan mulai periode tahun 2000 s/d April 2001 secepatnya dan mengisi formulir tertampir

Petunjuk teknis tentang penuntutan anak

Pada akhir akhir ini, semakin sering terjadi tindak pidana yang pelakunya anak anak dibawah umur dan penanganan/ penyelesaiannya berbeda beda satu sama latin. Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu untuk memberikan Petunjuk teknis guna melengkapi Surat Edaran Jaksa Agung RI. Nomor : SE 02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap anak sebagai berikut :
1. Prapenuntutan
1.1. Segera setelah menerima SPDP agar diperhatikan usia dari tersangka.
2.2. Apabila usia tersangka masih di bawah 16 tahun segera pastikan kepada penyidik tentang usia tersangka dengan mencari bukti bukti authentik seperti akte kelahiran atau akte kenal lahir, data di Sekolah, Kelurahan dan lain lain.
3.3. Setelah usia tersangka dapat diketahui secara pasti berdasarkan alat bukti yang syah maka dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a. Melaporkan secara hirarchis tentang identitas tersangka, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar dan hal hal yang dipandang perlu.
b. Apabila tersangka belum berumur 10 tahun pada saat melakukan perbuatan tersebut agar Jaksa Peneliti (calon Penuntutan Umum) melakukan pendekatan kepada penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan tetapi cukup diberikan bimbingan/penerangan secara bijaksana kepada tersangka maupun kepada orangtua/walinya sehingga perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Kejaksaan (SE 02/JA/6/1989).
c. Apabila tersangka ditahan, hendaknya disarankan supaya segera dibebaskan melalui Prosedur penangguhan/pengalihan penahanan. sedangkan kalau masih dipandang perlu Untuk melakukan penahanan, disarankan agar tempat penahanan pada Rutan/lembaga tidak disatukan dengan tahanan dewasa.
4.4. Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan untuk menghindari penyelesaian yang berlarut larut.
5.5. Dalam penyerahan tahap pertama agar disamping meneliti syarat formal dan materiil juga disarankan memeriksa hasil penelitian Prayuwana (Bispa) setempat.
6.6. Pendapat Prayuwana (Bispa) benar benar diperhatikan dan dimanfaatkan dalam penyelesaian perkara.
7.7. Apabila tersangka anak dibawah umur tersebut melakukan tindak pidana bersama sama dengan orang dewasa agar penuntutan terhadap masing masing terdakwa dilakukan secara terpisah (pasal 142 KUHAP).
8.8. Dalam penyerahan tahap kedua supaya Jaksa benarbenar meneliti dan mempertimbangkan kesehatan, masa depan anak dan penggunaan kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka anak dibawah umur.
2. Penuntutan.
1.1. Perkara yang tersangkanya anak dibawah umur supaya diprioritaskan penyelesaiannya.
2.2. Tata tertib sidang anak dibawah umur harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M06-UM.01 06 tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang sidang
3.3. Tuntutan terhadap anak dibawah umur dilakukan sebagai berikut :
a. Apabila terdakwa anak dibawah umur tersebut tidak ditahan, supaya mengajukan tuntutan agar anak tersebut dikembalikan kepada orangtua/ wall untuk dididik dan kalau orang tua/wali menolak hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah sebagai anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu untuk mendapat pendidikan sebagaimana mestinya tanpa, pidana apapun (pasal 45 dan pasal 46 KUHP) atau
b. Dalam hal tersangka ditahan, agar Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan atau
c. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum memandang perlu menuntut pidana penjara, agar mempedomani Surat Edam Jaksa Agung R 1. Nomor : SE001/JA/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana

Demikian agar maklum dan sebagaimana mestinya.

Penerapan Pasal 335 KUHP

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian atas laporan yang diterima dari daerah atas penerapan pasal 335 KUHP, terdapat kecenderungan yang cukup memprihatinkan mengingat dalam banyak kasus Jaksa Penuntut Umum keliru menerapkan pasal 336 KUHP Sementara itu ada penilaian dan para praktisi hukum bahwa pasal 335 KUHP telah dijadikan sebagai ”keranjang sampah”, dengan adanya kenyataan bahwa baik penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum berusaha menjaring perbuatan apa saja masuk dalam kualifikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP. Tidak berkelebihan apabila kami kemukakan bahwa masalah ini pernah disinggung dalam Rapat Kerja antara Jaksa Agung dengan Komisi III DPR RI pada akhir tahun 1994. Sebagai contoh dapat kami kemukakan kasus sebagai berikut :
1.A menampar muka B dan untuk perbuatan tersebut Jaksa mendakwakan pasal 335 KUHP terhadap A.
2.A. mempunyai sengketa tanah dengan B kemudian A secara tanpa hak memagar tanah sengketa tersebut. Untuk perbuatan A. tersebut, Jaksa mendakwakan pasal 335 KUHP.
Dari kedua contoh itu dapat disimpulkan bahwa menurut Jaksa tersebut setiap tindakan yang tidak menyenangkan dapat di kualifisir memenuhi unsur unsur tindak Pidana sebagaimana diatur pasal 335 KUHR Pendapat yang demikian adalah sama sekali tidak tepat dan dapat mengakibatkan gagalnya penuntutan.
Sehubungan dengan itu dan apabila akan menerapkan pasal 335 ayat I ke l e KUHP, hendaknya diperhatikan hal hal sebagai berikut:
a.Unsur unsur pasal 335 ayat I ke l e KUHP adalah
1.Melawan hak ;
2.Memaksa orang lain Supaya Melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
3.Paksaan dilakukan dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain atau perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan
4.Paksaan atau ancaman itu ditujukan baik terhadap orang itu sendiri maupun terhadap orang lain.

Dengan demikian yang utama perlu diperhatikan ialah 0 adanya paksaan untuk melakukan sesuatu atau untuk membiarkan sesuatu " dan paksaan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan perbuatan tidak menyenangkan memaksa seseorang misalnya memaksa penumpang naik kedalam bisnya atau dengan ancaman kekerasan misalnya seorang pasien memaksa dokter untuk menulis resep. Dalam pasal 335 KUHP, perbuatan tidak menyenangkan adalah unsur, bukan suatu akibat dari perbuatan tersangka/ terdakwa yang dapat mengakibatkan keadaan yang tidak menyenangkan. Dan perbuatan itu ditujukan kepada orang secara langsung, bukan terhadap barang atau benda. Dengan penjelasan ini diharapkan Jaksa akan lebih berhati hati dalam menerapkan pasal 335 KUHP dan tidak menjadikannya sebagai pasal keranjang sampah, apalagi menjadikannya sebagai alasan untuk dapat melakukan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa.
Demikian agar maklum dan mendapat perhatian sepenuhnya

केबेरासिलन penuntutan

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan eksaminasi umum pem Kepala Kejaksaan Tinggi, nampak, bahwa sebagian besar perkara Tindak Pidana Umum yang ditangani oleh jajaran Kejaksaan di daerah telah dapat diselesaikan dengan baik. Namun selama ini keberhasilan tersebut kurang diangkat kepermukaan dan mengingat bahwa kegagalan/kekurangan berhasilan lebih banyak muncul dalam pemberitaan mass media (Walaupun secara kwantitatif jumlahnya relatif kecil, hal tersebut dapat memberi yang kurang tepat terhadap pelaksanaan kegiatan penyelesaian perkara Tindak Pidana Umum.
Sehubungan dengan itu, kami mengharapkan perhatian Saudara mengenai hal hal sebagai berikut :
1. Apabila seorang Jaksa Penuntut Umum yang bertugas dalam daerah hukum Saudara berhasil dengan baik dalam menyelesaikan Tindak Pidana Umum, baik dilihat dari segi penerapan, penegakan maupun dari segi pelayanan hukum, diharapkan Saudara segera melaporkannya kepada Jaksa Agung dan tembusannya disampaikan kepada kami. Yang dimaksud dengan keberhasilan dalam penerapan hukum antara lain apabila pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum sepenuhnya diambil alih oleh Hakim dalam memutus suatu perkara atau permohonan kasasi Jaksa Penutut Umum dalam hal/terhadap putusan' A as dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
2. Yang dimaksud dengan keberhasilan dalam penegakan hukum antara lain apabila Jaksa lugas dalam melakukan penuntutan dan tuntutan pidananya mempunyai dampak preventif/memiliki daya tangkal
3. Selanjutnya yang dimaksud dengan keberhasilan dalam pelayanan hukum antara lain apabila Jaksa Penuntut Umum berhasil mewujudkan azas peradilan cepat dan kepentingan korban kejahatan terlayani dengan baik.
4. Laporan yang dimaksud pada butir 1 (satu) hendaknya disampaikan secara singkat, padat dan jelas, dengan tedebih dahulu menjelaskan Nama Terdakwa, Kasus Posisi, Pasal dari Ketentuan Peraturan Perundang undangan yang didakwakan, Jaksa yang menangani perkara dan kemudian keberhasilan yang dicapai.
5. Setelah dilakukan penilaian atas Laporan Saudara pada butir 2 (dua), kami akan meneruskan keberhasilan tersebut kepada jajaran Kejaksaan Tinggi lainnya dengan maksud untuk memacu semangat Pam jaksa dalam berprestasi, disamping kami ingin menerapkan reward and punishment system secara seimbang.
6. Kepala Kejaksaan Tinggi meneruskan petunjuk ini kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam daerah hukumnya masing masing untuk pelaksanaannya

Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum

I.KWALIFIKASI PERKARA PENTING
1.Perkara penting dimaksud butir 11, LP 1 7 adalah perkara perkara yang memenuhi kriteria tersebut butir If lampiran INSJA Nomor : INS 004/J.A/III/1994. tanggal 9 Maret 1994.
2.LP 17 sebagaimana dimaksud Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP 120/JA/12/1992 merupakan model laporan bulanan yang tidak berkaitan langsung dengan lnstruksi Jaksa Agung Nomor INS 004/J.A/3/1994.

II.PENGENDALIAN PENANGANANIPENYELESAIAN PERKARA PENTING
1.Pada prinsipnya penanganan/penyelesaian perkara dikendalikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri.
2.Dikecualikan dari prinsip dimaksud butir 1, adalah perkara perkara penting tertentu yang ditetapkan dalam butir II. b. III. 3 a dan b lampiran INSJA 004/JA/3/1994 tanggal 9 Maret 1994.
3.Rencana tuntutan pidana :
a.Dalam hal pengendalian penyelesaian perkara penting dilaksanakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, maka Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan pidana kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan kemudian Kepala Kejaksaan Negeri menetapkan tuntutan pidananya (strafmaat). Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri melaporkan tuntutan pidana tersebut kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dengan tembusan kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

b.Dalam hal pengendalian perkara penting dilaksanakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, maka secara berjenjang Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Kepala Kejaksaan tinggi disertai pendapat/saran dan kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi menetapkan tuntutan pidananya (strafmaat). Selanjutnya Kepala Kejaksaan Tinggi Melaporkan tuntutan pidana tersebut kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.


c.Dalam hal pengendalian penyelesaian perkara penting dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, maka secara berjenjangan Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Kepala Kejaksaan Tinggi disertai pendapat/saran dan kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum disertai pendapat/saran dan kemudian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atas nama Jaksa Agung menetapkan tuntutan pidananya (strafmast).

d.Rencana tuntutan disampaikan dengan menggunakan model P-41 Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP 120/JA/1992.


III.TATA LAKSANA LAPORAN

1.Penanganan/penyelesaian perkara penting' dilaporkan dalam bentuk laporan khusus yang terdiri dari :
a.Laporan khusus terjadinya tindak pidana/perkara penting
b.Laporan khusus tahap
c.Laporan khusus tahap penuntutan.
d.Laporan khusus penggunaan upaya hukum
e.Laporan khusus pelaksanaan putusan pengadilan.

2.MATERI LAPORAN
a.Laporan khusus terjadinya tindak pidana/perkara penting, memuat materi antara lain :
-Tempat dan tanggal terjadinya tindak pidana.
-Identitas korban kejahatan.
-Upaya yang dilakukan oleh penyidik untuk mengungkapkan kasus tersebut
-Ada/tidaknya SPDP.

b.Laporan khusus tahap prapenuntutan, memuat mated antara lain:
-Identitas tersangka.
-Kasus Posisi.
-Riwayat penahanan.
-Riwayat singkat penanganan perkara.
-Hasil penelitian berkas yang diterima tahap I (pertama) dari penyidik dan petunjuk yang diberikan kepada penyidik.
-Permasalahan yang dihadapi dan upaya penanggulangan serta hasilnya.
-Identitas Jaksa Penelitian.
-Kesimpulan dan saran.

c. Laporan khusus tahap penuntutan, memuat materi antara lain :
-Surat dakwaan, eksepsi terdakwa/penasehat hukum, tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi dan putusan sela.
-Hasil persidangan/peme riksaan terhadap para saksi.
-Hasil persidangan/pemeriksaan terhadap terdakwa dan barang bukti.
-Tuntutan pidana, pembela (pledoi), replik dan duplik serta Putusan Pengadilan Tingkat I (pertama).
d.Laporan khusus penggunaan upaya hukum, memuat materi antara lain:
-Naskah memori banding atau memori kasasi Jaksa Penuntut Umum.
-Naskah memori banding atau memori kasasi atau permohonan Grasi atau permohonan Peninjauan Kembali oleh terdakwa/penasehat hukumnya sesuai tahapan atau urgensinya.
-Kontra memori banding atau kontra memori kasasi Jaksa Penuntut Umum apabila terdakwa/penasehat hukumnya mengajukan banding atau kasasi.

e.Laporan khusus pelaksanaan Putusan Pengadilan, memuat materi antara lain :
-Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
-Pelaksanaan Putusan Pengadilan, hambatan yang dihadapi dan upaya penanggulangan serta hasilnya.

3.Waktu Penyampaian Laporan

Laporan sebagaimana dimaksud butir 2 a, b, c, d, e disampaikan pada kesempatan pertama dengan menggunakan sarana tercepat sehingga dapat diterima Pimpinan tepat waktu dan tidak kehilangan momentum.

Minggu, 04 Januari 2009

Eksekusi uang Pengganti

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 11 Oktober 2005
Nomor : B-779/F/Fjp/Ft/1 0/2005
Sifat : Biasa KEPALA KEJAKSAAN TINGGI
Lampiran: 1 (satu) eksemplar
Perihal : Eksekusi uang Pengganti

Sehubungan dengan permintaan BPK untuk penyelesaian tunggakan eksekusi membayar uang Pengganti atas kerugian uang negara berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bersama ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan laporan data-data tunggakan eksekusi hukuman membayar uang pengganti atas kerugian negara dari Kajati seluruh Indonesia berjumlah Rp. 6.661.536118.657, (akurasi data tersebut kemungkinan dapat berubah bertambah dan berkurang), dimana rincian jumlah uang pengganti dari masing-masing Kajati sebagaimana terlampir.
2. Berkenaan dengan tunggakan pembayaran uang pengganti pada butir, disampaikan petunjuk sebagai berikut :
2.1 Agar selalu dilakukan pemutakhiran data perkara tindak pidana korupsi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yang ada pembayaran uang pengganti), dengan dipilah yang putusannya didasarkan pada pasal 34 C UU No. 3 tahun 1971 dan mana yang berdasarkan pasal 18 UU No. 31 tahun 1999.
2.2 Dalam hal terpidananya benar-benar dalam keadaan tidak mampu yang dibuktikan dengan keterangan pejabat yang berwenang dapat penghapusan piutang wpm sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan RI No. 3 1/PMK.07/2005 tanggal 23 Mei 2005
2.3 Untuk eksekusi pemyaran uang pengganti yang diputus berdasarkan pasal 34 C UU No. 3 tahun 1971, agar ditempuh upaya-upaya sebagai berikut :
a. Upayakan seoptimal mungkin pencarian/pelacakan asset terpidana untuk selanjutnya dilakukan penyitaan.
b. Asset hasil pelacakan / pencarian tersebut segera dilakukan pelelangan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku vide keputusan Menkeu No.
304/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Juklak Pelelangan).
c. Uang hasil lelang disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan dengan
jumlah kewajiban pembayaran uang pengganti- Apabila terdapat kelebihan
dan jumlah uang pengganti, maka kelebihannya dikembalikan kepada
terpidana- Namun jika ternyata masih terdapat kekurangan maka tetap
menjadi beban kewajiban yang harus dibayar oleh terpidana.
d. Apabila upaya butir 2 a, b dan c secara optimal telah dilakukan dan ternyata tidak ditemukan aset terpidana, maka penyelesaian selanjutnya dilimpahkan kepada Datun untuk diupayakan melalui instrumen perdata.
2.4 Dalam hal putusan hakim terhadap uang; pengganti didasarkan pada pasal 18 UU No. 31 tahun 1999, dimana secara tegas mencantumkan pada putusannya bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 bulan atau dalam waktu tertentu, agar supaya harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk selanjutnya dilakukan pelelangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, guna menutupi pembayaran uang penganti.
Apabila terpidananya tidak mempunyai harta benda atau harta bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukum badan sesuai putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman membayar uang pengganti.
Dalam hal terpidananya melarikan diri agar asset-asset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan uang hasil lelang disetorkan ke negara dengan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti

3. Tuntasnya penanganan suatu perkara yang telah mendapat putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adalah apabila telah dilakukan eksekusi secara tuntas, termasuk eksekusi pembayaran uang pengganti.
Oleh karena, eksekusi adalah menjadi tugas dan tangggung jawab jaksa, maka diminta agar para Kajati dan para Kajari secara bersungguh-sunguh melaksanakan dan menuntaskan seksekusi sesuai amar putusan hakim tersebut.
4. Agar pelaksanaan eksekusi pembayaran Uang pengganti secara tertib dan cermat guna memenuhi permintaan BPK, Jaksa Agung RI kepada DPR RI
Demikian untuk dilaksanakan.
JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA KHUSUS,
HENDARMAN SUPANDJI
Tembusan -
1. Yth. Jaksa Agung RI (sebagai laporan)
2. Yth. JAM Pengawasan 3 . A r s i p.