Kamis, 08 Januari 2009

PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

I.PENDAHULUAN

Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara perkara yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum dan hasil pembahasan permasalahan Surat Dakwaan dalam Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 1993, ternyata kelagaian penuntutan pada umumnya bermula pada kekurangcermatan Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan Surat Dakwaan, dan pada sisi lain membawa konsekuensi berupa timbulnya berbagai kendala dalam upaya pembuktian dakwaan.

Jaksa Penuntut Umum perlu menyadari bahwa Surat Dakwaan merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap.

Mengingat bahwa peranan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dalam perneriksaan perkara pidana di Pengadilan dan Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umurn dalam penyusunan Surat Dakwaan.

Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan, maka kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan perlu terus ditingkatkan dan sehubungan dengan itu diperlukan bimbingan serta pengendalian agar para Jaksa Penuntut Umum mampu menyusun Surat Dakwaan secara profesional, efektif dan efisien guna mengoptimalkan keberhasilan tugas kejaksaan dibidang penuntutan.


II.FUNGSI SURAT DAKWAAN

Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan.

Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan :

a.Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
b.Bagi Penutut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;
c.Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

III.DASAR PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

1.Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat Surat Dakwaan (pasal 14 huruf d KUHAP);
2.Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan,yang berwenang mengadili (pasal 137 KUHAP);
3.Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (pasal 140 ayat 1 KUHAP).
Surat Dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai ketentuan Undang Undang Pidana yang bersangkutan.


IV.SYARAT SYARAT SURAT DAKWAAN.

Pasal 143 (2) KUHAP menetapkan syarat syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum dan identitas lengkap terdakwa. Syarat syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi :
a.Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pernbuat Surat Dakwaan;
b.Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Disamping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu Tindak Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil. meliputi :
a.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan;
b.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan.
Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata "cermat" paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik baiknya.

Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur unsur tersebut harus terlukis didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan.

Secara materiil. suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang :
1)Tindak Pidana yang dilakukan;
2)Siapa yang melakukan Tindak Pidana tersebut;
3)Dimana Tindak Pidana dilakukan;
4)Bilamana/kapan Tindak Pidana dilakukan;
5)Bagaimana Tindak Pidana tersebut dilakukan;
6)Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik materiil).
7)Apakah yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana tersebut (delik delik tertentu);
8)Ketentuan ketentuan Pidana yang diterapkan.

Komponen komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak Pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiii).

Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi.

Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).



V.BENTUK SURAT DAKWAAN

Undang Undang tidak menetapkan bentuk Surat Dakwaan dan adanya berbagai bentuk Surat Dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek, sebagai berikut:
1.Tunggal
Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP).

2.Altermatif
Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan.

Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Misalnya didakwakan
Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau
Kedua : Penadahan (pasal 480 KUHP).

3.Subsidair.
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.
Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.
misalnya didakwakan :
Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP),
Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP),
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP).

4.Kumulatif.
Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tigas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri.
Misalnya didakwakan :

Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan
Kedua : Pencurian dengan pernberaten (363 KUHP), dan
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).

5.Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
Misalnya didakwakan
Kesatu :
Primair : Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP)
Subsidair : Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP);
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP);
Kedua :
Primair : Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP);
Subsidair : Pencurian (pasal 362 KUHP), dan

Ketiga :
Perkosaan (pasal 285 KUHP).


VI.TEKNIK PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

Teknik pembuatan Surat Dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan.

1.Pemilihan Bentuk.

Bentuk Surat Dakwaan disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam Undang Undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.

2.Teknis Redaksional

Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur Tindak Pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat kallimat efektif

Tindak Pidana Kehutanan Sebagai Perkara (PK. Ting)

Sehubungan dengan penanganan perkara Tindak Pidana Kehutanan diminta perhatian para Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia akan hal hal sebagai berikut:

I. Kwalifikasi Tindak Pidana Kehutanan adalah Perkara Penting (PK. Ting).

1. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE 002/J.A/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, antara lain ditetapkan bahwa ti ndak pidana Kehutanan sebagaimana disebutkan dalam Undang undang dan Peraturan Perundang Undangan lainnya yang terkait sebagai perkara penting (PK. Ting).
2. Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada tanggal 30 September 1999, serta dinyatakan tidak berlakunya Undang Undang Nomor 5 tahun 1967, maka dengan sendirinya tindak pidana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE 002/ J.A/4.1995 tersebut adalah tindak pidana Kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999.
3. Akhir akhir ini tindak pidana Kehutanan dalam bentuk penebangan kayu illegal (Illegal Logging) dan peredaran hasil hutan illegal tambah merajalela dihampir seluruh wilayah Indonesia.
Namun di sisi lain, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri banyak yang tidak melaporkan adanya penanganan perkara Kehutanan tersebut ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum).
Hal ini menyulitkan Kejaksaan Agung dalam memantau penanganan perkara Kehutanan tersebut, disamping rendahnya tuntutan JPU, hal tersebut, disamping rendahnya tuntutan JPU, hal tersebut mengundang tanda Tanya.
4. Begitu besarnya perhatian Pemerintah terhadap tindak pidana Kehutanan ini, maka pada tanggal 19 April 2001 telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional tanjung Putting.

Dalam dictum keempat dari Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2001 tersebut, memerintahkan kepada Jaksa Agung, agar:

1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum di lingkungah Kejaksaan yang terlibat kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan Ilegal;
2. Mempercepat proses yustisi terhadap perkara pelanggaran atau kejahatan yang diserahkan oleh Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.
II. Berdasarkan hal hal di atas agar para Kepala Kejaksaan Tinggi/Kepala Kejaksaan Negeri di Seluruh Indonesia untuk:
1. Melakukan Pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian perkara Kehutanan (UU No. 41 tahun 1999) sebagai perkara penting (PK. Ting).
2. Selalu melaporkan penanganan perkara Kehutanan tersebut dalam berpedoman pada:
a. Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS 004/J.A/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 dan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R 16/E/3/ 1994 tanggal 11 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum.
b. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R 05/E/ES/2/1995 tanggal 9 Pebruari 1995 tentang Pelaporan Pengendalian Perkara Tindak Pidana Umum.
3. Mempercepat proses penanganan setiap perkara Kehutanan yang diterima dari Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.
4. Meminta perhatian setiap warga Kejaksaan agar tidak terlibat dalam tindak Pidana Kehutanan dalam bentuk apapun, serta melaporkan ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia, apabila ada oknum Kejaksaan yang terlibat dalam tindak pidana Kehutanan tersebut.

III. Diperintahkan agar Saudara melaporkan penyelesaian kasus-kasus Tindak Pidana Kehutanan mulai periode tahun 2000 s/d April 2001 secepatnya dan mengisi formulir tertampir

Petunjuk teknis tentang penuntutan anak

Pada akhir akhir ini, semakin sering terjadi tindak pidana yang pelakunya anak anak dibawah umur dan penanganan/ penyelesaiannya berbeda beda satu sama latin. Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu untuk memberikan Petunjuk teknis guna melengkapi Surat Edaran Jaksa Agung RI. Nomor : SE 02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap anak sebagai berikut :
1. Prapenuntutan
1.1. Segera setelah menerima SPDP agar diperhatikan usia dari tersangka.
2.2. Apabila usia tersangka masih di bawah 16 tahun segera pastikan kepada penyidik tentang usia tersangka dengan mencari bukti bukti authentik seperti akte kelahiran atau akte kenal lahir, data di Sekolah, Kelurahan dan lain lain.
3.3. Setelah usia tersangka dapat diketahui secara pasti berdasarkan alat bukti yang syah maka dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a. Melaporkan secara hirarchis tentang identitas tersangka, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar dan hal hal yang dipandang perlu.
b. Apabila tersangka belum berumur 10 tahun pada saat melakukan perbuatan tersebut agar Jaksa Peneliti (calon Penuntutan Umum) melakukan pendekatan kepada penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan tetapi cukup diberikan bimbingan/penerangan secara bijaksana kepada tersangka maupun kepada orangtua/walinya sehingga perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Kejaksaan (SE 02/JA/6/1989).
c. Apabila tersangka ditahan, hendaknya disarankan supaya segera dibebaskan melalui Prosedur penangguhan/pengalihan penahanan. sedangkan kalau masih dipandang perlu Untuk melakukan penahanan, disarankan agar tempat penahanan pada Rutan/lembaga tidak disatukan dengan tahanan dewasa.
4.4. Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan untuk menghindari penyelesaian yang berlarut larut.
5.5. Dalam penyerahan tahap pertama agar disamping meneliti syarat formal dan materiil juga disarankan memeriksa hasil penelitian Prayuwana (Bispa) setempat.
6.6. Pendapat Prayuwana (Bispa) benar benar diperhatikan dan dimanfaatkan dalam penyelesaian perkara.
7.7. Apabila tersangka anak dibawah umur tersebut melakukan tindak pidana bersama sama dengan orang dewasa agar penuntutan terhadap masing masing terdakwa dilakukan secara terpisah (pasal 142 KUHAP).
8.8. Dalam penyerahan tahap kedua supaya Jaksa benarbenar meneliti dan mempertimbangkan kesehatan, masa depan anak dan penggunaan kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka anak dibawah umur.
2. Penuntutan.
1.1. Perkara yang tersangkanya anak dibawah umur supaya diprioritaskan penyelesaiannya.
2.2. Tata tertib sidang anak dibawah umur harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M06-UM.01 06 tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang sidang
3.3. Tuntutan terhadap anak dibawah umur dilakukan sebagai berikut :
a. Apabila terdakwa anak dibawah umur tersebut tidak ditahan, supaya mengajukan tuntutan agar anak tersebut dikembalikan kepada orangtua/ wall untuk dididik dan kalau orang tua/wali menolak hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah sebagai anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu untuk mendapat pendidikan sebagaimana mestinya tanpa, pidana apapun (pasal 45 dan pasal 46 KUHP) atau
b. Dalam hal tersangka ditahan, agar Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan atau
c. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum memandang perlu menuntut pidana penjara, agar mempedomani Surat Edam Jaksa Agung R 1. Nomor : SE001/JA/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana

Demikian agar maklum dan sebagaimana mestinya.

Penerapan Pasal 335 KUHP

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian atas laporan yang diterima dari daerah atas penerapan pasal 335 KUHP, terdapat kecenderungan yang cukup memprihatinkan mengingat dalam banyak kasus Jaksa Penuntut Umum keliru menerapkan pasal 336 KUHP Sementara itu ada penilaian dan para praktisi hukum bahwa pasal 335 KUHP telah dijadikan sebagai ”keranjang sampah”, dengan adanya kenyataan bahwa baik penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum berusaha menjaring perbuatan apa saja masuk dalam kualifikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 335 KUHP. Tidak berkelebihan apabila kami kemukakan bahwa masalah ini pernah disinggung dalam Rapat Kerja antara Jaksa Agung dengan Komisi III DPR RI pada akhir tahun 1994. Sebagai contoh dapat kami kemukakan kasus sebagai berikut :
1.A menampar muka B dan untuk perbuatan tersebut Jaksa mendakwakan pasal 335 KUHP terhadap A.
2.A. mempunyai sengketa tanah dengan B kemudian A secara tanpa hak memagar tanah sengketa tersebut. Untuk perbuatan A. tersebut, Jaksa mendakwakan pasal 335 KUHP.
Dari kedua contoh itu dapat disimpulkan bahwa menurut Jaksa tersebut setiap tindakan yang tidak menyenangkan dapat di kualifisir memenuhi unsur unsur tindak Pidana sebagaimana diatur pasal 335 KUHR Pendapat yang demikian adalah sama sekali tidak tepat dan dapat mengakibatkan gagalnya penuntutan.
Sehubungan dengan itu dan apabila akan menerapkan pasal 335 ayat I ke l e KUHP, hendaknya diperhatikan hal hal sebagai berikut:
a.Unsur unsur pasal 335 ayat I ke l e KUHP adalah
1.Melawan hak ;
2.Memaksa orang lain Supaya Melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
3.Paksaan dilakukan dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain atau perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan
4.Paksaan atau ancaman itu ditujukan baik terhadap orang itu sendiri maupun terhadap orang lain.

Dengan demikian yang utama perlu diperhatikan ialah 0 adanya paksaan untuk melakukan sesuatu atau untuk membiarkan sesuatu " dan paksaan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan perbuatan tidak menyenangkan memaksa seseorang misalnya memaksa penumpang naik kedalam bisnya atau dengan ancaman kekerasan misalnya seorang pasien memaksa dokter untuk menulis resep. Dalam pasal 335 KUHP, perbuatan tidak menyenangkan adalah unsur, bukan suatu akibat dari perbuatan tersangka/ terdakwa yang dapat mengakibatkan keadaan yang tidak menyenangkan. Dan perbuatan itu ditujukan kepada orang secara langsung, bukan terhadap barang atau benda. Dengan penjelasan ini diharapkan Jaksa akan lebih berhati hati dalam menerapkan pasal 335 KUHP dan tidak menjadikannya sebagai pasal keranjang sampah, apalagi menjadikannya sebagai alasan untuk dapat melakukan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa.
Demikian agar maklum dan mendapat perhatian sepenuhnya

केबेरासिलन penuntutan

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan eksaminasi umum pem Kepala Kejaksaan Tinggi, nampak, bahwa sebagian besar perkara Tindak Pidana Umum yang ditangani oleh jajaran Kejaksaan di daerah telah dapat diselesaikan dengan baik. Namun selama ini keberhasilan tersebut kurang diangkat kepermukaan dan mengingat bahwa kegagalan/kekurangan berhasilan lebih banyak muncul dalam pemberitaan mass media (Walaupun secara kwantitatif jumlahnya relatif kecil, hal tersebut dapat memberi yang kurang tepat terhadap pelaksanaan kegiatan penyelesaian perkara Tindak Pidana Umum.
Sehubungan dengan itu, kami mengharapkan perhatian Saudara mengenai hal hal sebagai berikut :
1. Apabila seorang Jaksa Penuntut Umum yang bertugas dalam daerah hukum Saudara berhasil dengan baik dalam menyelesaikan Tindak Pidana Umum, baik dilihat dari segi penerapan, penegakan maupun dari segi pelayanan hukum, diharapkan Saudara segera melaporkannya kepada Jaksa Agung dan tembusannya disampaikan kepada kami. Yang dimaksud dengan keberhasilan dalam penerapan hukum antara lain apabila pertimbangan hukum Jaksa Penuntut Umum sepenuhnya diambil alih oleh Hakim dalam memutus suatu perkara atau permohonan kasasi Jaksa Penutut Umum dalam hal/terhadap putusan' A as dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
2. Yang dimaksud dengan keberhasilan dalam penegakan hukum antara lain apabila Jaksa lugas dalam melakukan penuntutan dan tuntutan pidananya mempunyai dampak preventif/memiliki daya tangkal
3. Selanjutnya yang dimaksud dengan keberhasilan dalam pelayanan hukum antara lain apabila Jaksa Penuntut Umum berhasil mewujudkan azas peradilan cepat dan kepentingan korban kejahatan terlayani dengan baik.
4. Laporan yang dimaksud pada butir 1 (satu) hendaknya disampaikan secara singkat, padat dan jelas, dengan tedebih dahulu menjelaskan Nama Terdakwa, Kasus Posisi, Pasal dari Ketentuan Peraturan Perundang undangan yang didakwakan, Jaksa yang menangani perkara dan kemudian keberhasilan yang dicapai.
5. Setelah dilakukan penilaian atas Laporan Saudara pada butir 2 (dua), kami akan meneruskan keberhasilan tersebut kepada jajaran Kejaksaan Tinggi lainnya dengan maksud untuk memacu semangat Pam jaksa dalam berprestasi, disamping kami ingin menerapkan reward and punishment system secara seimbang.
6. Kepala Kejaksaan Tinggi meneruskan petunjuk ini kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam daerah hukumnya masing masing untuk pelaksanaannya

Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum

I.KWALIFIKASI PERKARA PENTING
1.Perkara penting dimaksud butir 11, LP 1 7 adalah perkara perkara yang memenuhi kriteria tersebut butir If lampiran INSJA Nomor : INS 004/J.A/III/1994. tanggal 9 Maret 1994.
2.LP 17 sebagaimana dimaksud Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP 120/JA/12/1992 merupakan model laporan bulanan yang tidak berkaitan langsung dengan lnstruksi Jaksa Agung Nomor INS 004/J.A/3/1994.

II.PENGENDALIAN PENANGANANIPENYELESAIAN PERKARA PENTING
1.Pada prinsipnya penanganan/penyelesaian perkara dikendalikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri.
2.Dikecualikan dari prinsip dimaksud butir 1, adalah perkara perkara penting tertentu yang ditetapkan dalam butir II. b. III. 3 a dan b lampiran INSJA 004/JA/3/1994 tanggal 9 Maret 1994.
3.Rencana tuntutan pidana :
a.Dalam hal pengendalian penyelesaian perkara penting dilaksanakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, maka Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan pidana kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan kemudian Kepala Kejaksaan Negeri menetapkan tuntutan pidananya (strafmaat). Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri melaporkan tuntutan pidana tersebut kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dengan tembusan kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

b.Dalam hal pengendalian perkara penting dilaksanakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, maka secara berjenjang Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Kepala Kejaksaan tinggi disertai pendapat/saran dan kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi menetapkan tuntutan pidananya (strafmaat). Selanjutnya Kepala Kejaksaan Tinggi Melaporkan tuntutan pidana tersebut kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.


c.Dalam hal pengendalian penyelesaian perkara penting dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, maka secara berjenjangan Jaksa Penuntut Umum melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum mengajukan rencana tuntutan kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Kepala Kejaksaan Tinggi disertai pendapat/saran dan kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi meneruskan rencana tuntutan tersebut kepada Jaksa Agung Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum disertai pendapat/saran dan kemudian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atas nama Jaksa Agung menetapkan tuntutan pidananya (strafmast).

d.Rencana tuntutan disampaikan dengan menggunakan model P-41 Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP 120/JA/1992.


III.TATA LAKSANA LAPORAN

1.Penanganan/penyelesaian perkara penting' dilaporkan dalam bentuk laporan khusus yang terdiri dari :
a.Laporan khusus terjadinya tindak pidana/perkara penting
b.Laporan khusus tahap
c.Laporan khusus tahap penuntutan.
d.Laporan khusus penggunaan upaya hukum
e.Laporan khusus pelaksanaan putusan pengadilan.

2.MATERI LAPORAN
a.Laporan khusus terjadinya tindak pidana/perkara penting, memuat materi antara lain :
-Tempat dan tanggal terjadinya tindak pidana.
-Identitas korban kejahatan.
-Upaya yang dilakukan oleh penyidik untuk mengungkapkan kasus tersebut
-Ada/tidaknya SPDP.

b.Laporan khusus tahap prapenuntutan, memuat mated antara lain:
-Identitas tersangka.
-Kasus Posisi.
-Riwayat penahanan.
-Riwayat singkat penanganan perkara.
-Hasil penelitian berkas yang diterima tahap I (pertama) dari penyidik dan petunjuk yang diberikan kepada penyidik.
-Permasalahan yang dihadapi dan upaya penanggulangan serta hasilnya.
-Identitas Jaksa Penelitian.
-Kesimpulan dan saran.

c. Laporan khusus tahap penuntutan, memuat materi antara lain :
-Surat dakwaan, eksepsi terdakwa/penasehat hukum, tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi dan putusan sela.
-Hasil persidangan/peme riksaan terhadap para saksi.
-Hasil persidangan/pemeriksaan terhadap terdakwa dan barang bukti.
-Tuntutan pidana, pembela (pledoi), replik dan duplik serta Putusan Pengadilan Tingkat I (pertama).
d.Laporan khusus penggunaan upaya hukum, memuat materi antara lain:
-Naskah memori banding atau memori kasasi Jaksa Penuntut Umum.
-Naskah memori banding atau memori kasasi atau permohonan Grasi atau permohonan Peninjauan Kembali oleh terdakwa/penasehat hukumnya sesuai tahapan atau urgensinya.
-Kontra memori banding atau kontra memori kasasi Jaksa Penuntut Umum apabila terdakwa/penasehat hukumnya mengajukan banding atau kasasi.

e.Laporan khusus pelaksanaan Putusan Pengadilan, memuat materi antara lain :
-Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
-Pelaksanaan Putusan Pengadilan, hambatan yang dihadapi dan upaya penanggulangan serta hasilnya.

3.Waktu Penyampaian Laporan

Laporan sebagaimana dimaksud butir 2 a, b, c, d, e disampaikan pada kesempatan pertama dengan menggunakan sarana tercepat sehingga dapat diterima Pimpinan tepat waktu dan tidak kehilangan momentum.

Minggu, 04 Januari 2009

Eksekusi uang Pengganti

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 11 Oktober 2005
Nomor : B-779/F/Fjp/Ft/1 0/2005
Sifat : Biasa KEPALA KEJAKSAAN TINGGI
Lampiran: 1 (satu) eksemplar
Perihal : Eksekusi uang Pengganti

Sehubungan dengan permintaan BPK untuk penyelesaian tunggakan eksekusi membayar uang Pengganti atas kerugian uang negara berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bersama ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan laporan data-data tunggakan eksekusi hukuman membayar uang pengganti atas kerugian negara dari Kajati seluruh Indonesia berjumlah Rp. 6.661.536118.657, (akurasi data tersebut kemungkinan dapat berubah bertambah dan berkurang), dimana rincian jumlah uang pengganti dari masing-masing Kajati sebagaimana terlampir.
2. Berkenaan dengan tunggakan pembayaran uang pengganti pada butir, disampaikan petunjuk sebagai berikut :
2.1 Agar selalu dilakukan pemutakhiran data perkara tindak pidana korupsi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yang ada pembayaran uang pengganti), dengan dipilah yang putusannya didasarkan pada pasal 34 C UU No. 3 tahun 1971 dan mana yang berdasarkan pasal 18 UU No. 31 tahun 1999.
2.2 Dalam hal terpidananya benar-benar dalam keadaan tidak mampu yang dibuktikan dengan keterangan pejabat yang berwenang dapat penghapusan piutang wpm sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan RI No. 3 1/PMK.07/2005 tanggal 23 Mei 2005
2.3 Untuk eksekusi pemyaran uang pengganti yang diputus berdasarkan pasal 34 C UU No. 3 tahun 1971, agar ditempuh upaya-upaya sebagai berikut :
a. Upayakan seoptimal mungkin pencarian/pelacakan asset terpidana untuk selanjutnya dilakukan penyitaan.
b. Asset hasil pelacakan / pencarian tersebut segera dilakukan pelelangan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku vide keputusan Menkeu No.
304/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Juklak Pelelangan).
c. Uang hasil lelang disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan dengan
jumlah kewajiban pembayaran uang pengganti- Apabila terdapat kelebihan
dan jumlah uang pengganti, maka kelebihannya dikembalikan kepada
terpidana- Namun jika ternyata masih terdapat kekurangan maka tetap
menjadi beban kewajiban yang harus dibayar oleh terpidana.
d. Apabila upaya butir 2 a, b dan c secara optimal telah dilakukan dan ternyata tidak ditemukan aset terpidana, maka penyelesaian selanjutnya dilimpahkan kepada Datun untuk diupayakan melalui instrumen perdata.
2.4 Dalam hal putusan hakim terhadap uang; pengganti didasarkan pada pasal 18 UU No. 31 tahun 1999, dimana secara tegas mencantumkan pada putusannya bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 bulan atau dalam waktu tertentu, agar supaya harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk selanjutnya dilakukan pelelangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, guna menutupi pembayaran uang penganti.
Apabila terpidananya tidak mempunyai harta benda atau harta bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukum badan sesuai putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman membayar uang pengganti.
Dalam hal terpidananya melarikan diri agar asset-asset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan uang hasil lelang disetorkan ke negara dengan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti

3. Tuntasnya penanganan suatu perkara yang telah mendapat putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adalah apabila telah dilakukan eksekusi secara tuntas, termasuk eksekusi pembayaran uang pengganti.
Oleh karena, eksekusi adalah menjadi tugas dan tangggung jawab jaksa, maka diminta agar para Kajati dan para Kajari secara bersungguh-sunguh melaksanakan dan menuntaskan seksekusi sesuai amar putusan hakim tersebut.
4. Agar pelaksanaan eksekusi pembayaran Uang pengganti secara tertib dan cermat guna memenuhi permintaan BPK, Jaksa Agung RI kepada DPR RI
Demikian untuk dilaksanakan.
JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA KHUSUS,
HENDARMAN SUPANDJI
Tembusan -
1. Yth. Jaksa Agung RI (sebagai laporan)
2. Yth. JAM Pengawasan 3 . A r s i p.

: Optimalisasi pelaksanaan Wewenang

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 10 Januari 1996
Nomor : R-007/F/Fpk.1/01/1996
Sifat : Rahasia
Lampiran: -
Perihal :Optimalisasi pelaksanaan Wewenang
Kejaksaan di bidang Tindak Pidana
Khusus

Berdasarkan data - data yang ada pada JAM PIDSUS, penangganan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di Seluruh Indonesia mulai tahun 1993 sampai dengan sekarang terdapat penurunan baik mengenai jumlah Yang ditangani maupun tingkat penyelesaiannya. Sebagai contoh dalam tahun 1992/1993 perkara yang masuk sebanyak 236 perkara sedangkan tingkat penyelesaian sebesar 70,21%. Dalam tahun 1993/1994 perkara yang masuk sebanyak 228 perkara dan tingkat penyelesaiannya hanya sebesar 45,50%, sedangkan tahun 1994/1995 jumlah perkara yang masuk sebanyak 161 perkara dan tingkat penyelesaiannya hanya sebesar 36,94%.
Dalam menyongsong terbentuknya KUHP Nasional yang baru seluruh Jajaran Kejaksaan perlu mengoptimalkan operasionalisasi kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan dalam menangani perkara - perkara TWA- Pidana Khusus Hal ini perlu dilakukan agar eksistensi kewenangan tersebut tetap dapat dipertahankan bahkan kalau perlu dapat dikembangkan Untuk itu perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tingkatkan koordinasi/kerjasama dengan instansi BPKP yang ada di daerah sehingga
hasil pemeriksaan BPKP yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi selalu dapat
diserahkan kepada Kejaksaan setempat.
2. Mengadakan koardinasi/kerjasama dengan badan - badan pengawasan fungsional yang ada didaerah agar kasus - kasus yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi yang mereka temukan disampaikan kepada Kejaksaan sebagai salah satu usaha untuk membantu instansi tersebut sejalan dengan Inpres Nomor 15 tahun 1983.
3. Agar aparat Kejaksaan terutama yang ada di jajaran Tindak Pidana Khusus untuk bertindak proaktif mencari data-data/informasi tentang kemungkinan terjadinya penyelewengan diberbagai instansi/proyek, terutama pada titik rawan penyimpang an yang ada pada instansi tertentu sebagaimana pernah disampaikan JAM PIDSUS ke Kejati-Kejati beberapa waktu yang lalu.
4. Begitu juga jajaran Kejaksaan harus lebih cepat menanggapi/menangani informasi-informasi yang berasal dari masyarakat, pres atau sumber-sumber lainnya sehingga masyarakat maupun pers terangsang untuk selalu menyampaikan informasi mengenai penyimpangan-penyimpangan yang mereka temui/ketahui kepada aparat Kejaksaan.
5. Sedapat mungkin melibatkan aparat Kejaksaan terutama aparat Pidana Khusus pada setiap diadakan Rapat Koordinasi Pembangunan ditiap-tiap daerah, karena pada Rapat Kordinasi tersebut biasanya masing-masing instansi mengemukakan perkembangan proyek-proyek yang mereka tangani, sehingga dari informasi-informasi tersebut bisa dijadikan bahan untuk menentukan langkah-langkah dalam rangka ikut mengamankan jalannya pembangunan.
6. Bahwa setiap proyek pembangunan yang ada pada masing-masing instansi didaerah dilaporkan/didata pada BAPPEDA setempat. Dari data-data yang ada di BAPPEDA dapat diketahui proyek proyek yang sedang atau yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu perlu diusahakan aparat Kejaksaan mendapatkan date-data dari BAPPEDA, satu dan lain hal sebagai bahan kajian yuridis.
7. Para Kajati/Kajari diminta benar-benar dapat mendorong, membimbing serta mengendalikan pelaksanaan hal-hal tersebut diatas agar para Jaksa yang bertugas di lapangan tidak menimbulkan ekses yang dapat merusak citra Kejaksaan.
Demikian untuk mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA KHUSUS
Cap / ttd
YUNAN SAWIDJI SH

TEMBUSAN
1. Yth. Jaksa Agung RI
2. Yth. Wakil Jaksa Agung RI
3. Yth. Jam Intelejen
4. Arsip.

Upaya memperberat tuntutan pidana terhadap kejahatan perbankan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Nomor : B 35/E/1/1999
Sifat : biasa
Lampiran: 1 (satu) ekpl
Perihal : Upaya memperberat tuntutan pidana terhadap kejahatan perbankan
-------------------------------------------
Jakarta 13 Januari 1999
KEPADA YTH.
KEPALA KEJAKSAAN TINGGI
Di -
SELURUH INDONESIA

Sehubungan dengan telah Diundangkan dan diberlakukannya Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terhitung sejak tanggal 10 Nopember 1998, dengan ini diminta perhatiannya akan hal hal sebagai berikut:
1. Terdapat perubahan ancaman pidana dalam tindak pidana perbankan (Undang undang nomor 10 Tahun 1998 Jo. Undang undang Nomor 7 Tahun 1992) dimana telah ditentukan ancaman pidana minimum :
1.1. Pasal 46 ayat (1) menentukan ancaman pidana penjara sekurang kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak (dua ratus miliar rupiah)
1.2. Pasal 47 ayat (1) menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 2 (dua) tahun” dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
1.3. Pasal 47 ayat (2) menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 2 (dua) tahun” dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda “sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”dan Paling banyak Rp. 8.000.000.000 00 (delapan miliar rupiah).”
1.4. Pasal 47 A menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 2 (dua) tahun” dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda “sekurang kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)” dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.00 (lima belas miliar rupiah).
1.5. Pasal 48 ayat (1) menentukan ancaman pidana penjar “sekurang kurangnya 2 (dua) tahun” dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda “sekurang kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)” dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
1.6. Pasal 48 ayat (2) menentukan ancaman pidana kurungan “sekurang kurangnya 1 (satu) tahun” dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau “sekurang kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
1.7. Pasal 49 ayat (1) Menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 5 Pima) tahun” dan paling lama 15 “(Lima belas) tahun serta denda “sekurang kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
1.8. Pasal 49 ayat (2) menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 3 (tiga) tahun” dan paling lama 8 (delapan ) tahun serta denda “sekurang kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)” dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
1.9. Pasal 5 menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 3 (tiga) tahun” dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda “sekurang kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)” dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 seratus miliar rupiah).
1.10. Pasal 50 A menentukan ancaman pidana penjara “sekurang kurangnya 7 (tujuh) tahun” dan paling lama 15 (Lima belas) tahun" serta denda “sekurang kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Perubahan ancaman pidana dengan menentukan ancaman pidana minimum tersebut kiranya perlu disadari latar belakangnya yaitu bahwa sanksi pidana yang selama ini dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana perbankan dalam praktek peradilan dirasakan terlalu ringan dan kurang mencerminkan rasa keadilan.
3. Ancaman pidana yang lebih berat dilandasi oleh pertimbangan bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat perlu selalu dihindarkan,
4. Memperhatikan hal hal tersebut diatas maka diminta perhatian para KAJATI dan KAJARI untuk dapat memberikan pengendalian dan bimbimbingan kepada Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan pidana perkara perbankan dengan mempertimbangkan
1.1 Makna dan jiwa perundang undangan yang ingin memperberat penjatuhan pidana.
2.2 Perasaan keadilan yang hidup dimasyarakat, artinya tuntutan pidana harus dapat memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa. korban kejahatan maupun masyarakat.
5. Tentang tindak pidana perbankan yang terjadi sebelum diberlakukan Undang undang Nomor 10 Tahun 1998, akan tetapi perkaranya diadili setelah berlakunya Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 pada tanggal 10 Nopember 1998 maka sesuai dengan asas hukum pidana yang berlaku yaitu pasal 1 ayat (2) KUHP, dikenakan terhadap terdakwa ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Hal ini berarti ancaman pidana yang diterapkan adalah ancaman pidana menurut Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 yang tidak mengenai ancaman pidana minimum.
6. Sekalipun demikian, perlu diingatkan agar ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP “tidak dijadikan alasan” untuk menuntut pidana yang ringan WHOOP terdakwa.
Tuntutan Pidana yang relatif bow sangat diperlukan sebagai upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap dunia Perbankan .
7. Mengingat kejahatan Perbankan tidak hanya meliputi Pelanggaran Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang undang Nomor 7 Tahun I 1992 maka untuk kejahatan kejahatan Win yang merugikan Perbankan (pencurian uang nasabah bank, penipuan dan pemalsuan serta tindak pidana lainnya) agar dilakukan tuntutan pidana yang relatif berat sebagai upaya Mengendalikan ketenteraman dan ketertiban masyarakat
8. Sebagai Perkara Yang penting dan menarik perhatian masyarakat diminta perhatian para KAJATI untuk melaporkan perkara kejahatan Perbankan melalui mekanisme laporan Perkara Penting (Surat Edaran Jaksa Agung R.I. Nomor : SE 021/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995

Demikian untuk diindahkan.

JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA UMUM

ttd

RAMELAN, SH

Tembusan
1. Yth.Bapak Jaksa Agung R.I.;
(sebagai laporan)
2. Yth, Bapak Wakil Jaksa Agung;
3. Yth. JAM INTEL;
4. Yth. JAM P IDSUS;
5. Yth. Sdr. Para Jaksa Agung Muda;
6. Arsip
-----------------------------------------


Jakarta, 28 April 1995

SURAT EDARAN
NOMOR: SE 002/JA/4/1995

TENTANG

PERKARA PENTING TINDAK PIDANA UMUM LAIN

Memperhatikan hasil Rapat Kerja Teknis Tindak Pidana Umum yang diselenggarakan tanggal 13 s/d 15 Maret 1995 di Kejaksaan Agung yang memutuskan antara lain perlu menetapkan jenis jenis tindak pidana umum lain sebagai perkara penting karena mempunyai corak tersendiri yang dalam penanganan dan penyelesaiannya memeRIukan pendekatan tersendiri pula.
Setelah dilakukan inventarisasi terhadap berbagai jenis tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang Undang Hukum Pidana, terdapat beberapa jenis tindak pidana yang memeRIukan perhatian khusus dari pimpinan dan oleh karenanya perlu ditangani dan diselesaikan dengan sistem pengadilan, pelaporan dan pendokumentasian sebagai perkara penting.

Jenis jenis tindak pidana umum lain tersebut yaitu :
1. Tindak Pidana Lingkungan sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Perundang undangan lainnya yang terkait.
2. Tindak Pidana Kehutanan sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kehutanan dan Peraturan Perundang undangan lainnya yang terkait.
3. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten dan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merk dan Peraturan Perundang undangan lainnya yang terkait.
4. Tindak Pidana Perpajakan sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Peraturan Perundang undangan lainnya yang terkait
5. Tindak Pidana Perbankan sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1.992 tentang Perbankan dan Peraturan Perundang undangan lainnya yang terkait.

Perkara perkara tersebut tunduk kepada ketentuan ketentuan yang ditetapkan dalam lnstruksi Jaksa Agung R.I Nomor: INS 004/JA/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 dan penjabarannya lebih lanjut dalam bentuk petunjuk teknis /pola penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana umum lain, akan diatur oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

Demikian untuk diindahkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

cap/ttd

SINGGIH, SH.

Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Nomor : B 187/E/5/3/95
Sifat : -
Lampiran: -
Perihal :Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

Jakarta, 3 Mei 1995
KEPADA YTH.
Para Kepala Kejaksaan Tinggi
Di -
SELURUH INDONESIA

Sebagaimana diketahui bahwa Undang undang Nomor : 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana manganut sistem peradilan pidana yang mengutamakan Perlindungan hak hak azasi manusia, namun apabila ketentuan ketentuan mengenai hal itu diperhatikan secara lebih mendalam, ternyata hanya hak hak tersangka/terdakwa yang banyak ditonjolkan sedangkan hak hak dari korban kejahatan sangat sedikit diatur. Sejalan dengan azas tersebut masyarakat khususnya media massa lebih banyak menyoroti mengenai hak hak tersangka/terdakwa dari pada mempermasalahkan mengenai Perlindungan terhadap korban kejahatan.
Perlindungan terhadap korban kejahatan hanya diatur di dalam Bab XII (pasal 98 101) KUHAP, yang memungkinkan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana. Namun demikian di dalam praktek nampaknya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan oleh korban kejahatan, lagi pula di dalam pasal 99 KUHAP dijelaskan bahwa ganti kerugian yang dapat diputuskan oleh Hakim hanyalah biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan sedangkan kerugian lainnya terpaksa harus digugat melalui peradilan perdata yang prosesnya memakan waktu yang lama. Disamping itu KUHAP mengatur mengenai hak pihak ketiga yang berkepentingan termasuk korban kejahatan untuk mengajukan pemeriksaan termasuk praperadilan atas penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan terhadap perkara tersangka atau terdakwa dimana yang bersangkutan Sebagai korbannya.
Selain ketentuan tersebut di atas di dalam pasal 14c KUHP menentukan bahwa Hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari pada masa percobannya, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.
Namun ketentuan ini hanya berlaku bila Hakim menjatuhkan hukuman percobaan, sedangkan dalam hal kejahatan yang menimbulkan kerugian besar atau kejahatan dengan kekerasan, hukuman percobaan sulit untuk dijatuhkan.
Masalah lain yang perlu disadari yaitu bahwa kerugian yang diderita korban kejahatan tidak selamanya kerugian yang bersifat materiil, tetapi juga kerugian yang bersifat immateriil, terutama yang diakibatkan kejahatan dengan kekerasan yaitu selain penderitaan/ cacat fisik, luka, kehilangan kegadisan bahkan mati juga mengalami gangguan psykologis seperti trauma, luka bathin, kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian, frustasi, kecewa, dendam, pemarah, perasaan Tidak berdaya, hilang kepercayaan terhadap masyarakat, hilang percaya diri dan lain lain perilaku yang tidak wajar
Namun demikian kerugian immateriil ini sama sekali belum diatur secara tegas baik di dalam KUHAP atau didalam peraturan perundang undangan lainnya sedangkan kerugian seperti ini tidak cukup hanya dengan pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang/ materi, tetapi harus ada usaha usaha pemulihan dari segi kejiwaan dan rohani.
Sambil menunggu peraturan perundang undangan yang mengatur lebih jelas mengenai Perlindungan terhadap korban kejahatan baik penggantian kerugian materiil maupun kerugian immateriil, maka sudah saatnya diambil langkah langkah kebijaksanaan untuk mengupayakan Perlindungan terhadap korban dengan menerapkan ketentuan undang undang yang ada secara maksimal maupun melalui pengembangan yurisprudensi dalam rangka mengisi kekosongan hukum, sebagamana diamanatkan oleh GBHN 1993, dan pasal 8 (4) Undang undang Nomor 5 tahun 1991, serta upaya upaya lain yang manfaatnya dapat dirasakan oleh korban kejahatan.
Sehubungan dengan itu sebagai tindak lanjut hasil Rapat Kerja Tindak Pidana Umum 1995 bersama ini diberikan petunjuk sebagai berikut :
1. Supaya sejak tahap pra penuntutan Jaksa Penuntut Umum sudah memberitahukan kepada korban Kejahatan baik anggota masyarakat maupun Negara Cq. Instansi/Lembaga terkait mengenai hak haknya untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang bersifat materil yang dideritanya sebelum tuntutan pidana dibacakan sesuai pasal 98 KUHAP Sedangkan kerugian lainnya dapat diajukan melalui proses perdata sebagaimana dijelaskan dalam Bab IV Keputusan Menteri Kehakirnan RI Nomor: M.01/PW.07.03 tahun 1982.
2. Dalam hal terhadap terdakwa patut dituntut dengan hukuman percobaan agar diterapkan ketentuan pasal 14c KUHP dengan mencantumkan kewajiban membayar ganti kerugian kepada korban kejahatan sebagai syarat khusus.
3. Dalam hal dituntut hukuman bukan percobaan diharapkan Jaksa Penuntut Umum mengadakan pendekatan kepada Hakim untuk kernungkinan mengembangkan yurisprudensi dengan menjatuhkan hukuman tambahan terhadap terdakwa membayar ganti rugi kepada korban kejahatan.
4. Mengusahakan upaya upaya lain yang dapat membantu pemulihan kerugian yang diderita korban kejahatan baik materiil maupun immateriil dengan melibatkan badan badan sosial baik yang dibentuk atas prakarsa masyarakat maupun atas dorongan pemerintah.
5. Petunjuk ini merupakan penegasan dan melengkapi Petunjuk kami Nomor B 63/E/2/94 tanggal 4 Pebruari 1994, perihal Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan.

Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan rasa tanggung Jawab.

JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA UMUM

ttd

I.N. SUWANDHA, SH

Tembusan:
1. YTH. BAPAK JAKSA AGUNG R.I.
(sebagai laporan)
2. YTH. BAPAK WAKIL JAKSA AGUNG R.I.
3. YTH. PARA JAKSA AGUNG MUDA
4. A R S I P.

Kecermatan Penanganan dan Penyelesaian suatu Peranan kasus/Perkara

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 3 Mei 1995

Nomor : B 186/E/5/1995
Sifat : Biasa
Lampiran: -
Perihal :Kecermatan Penanganan dan Penyelesaian suatu Peranan kasus/Perkara
KEPADA YTH.
Para Kepala Kejaksaan Tinggi
Di
SELURUH INDONESIA

Berdasarkan hasil pengamatan kami selama ini terhadap, penanganan dan penyelesaian perkara, ternyata masih terdapat perkara yang mengandung masalah antara lain:
1. Tidak memenuhi unsur tindak pkiana yang disangkakan dalam berkas perkara hasil penyidikan tetapi dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan dan dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri terutama berdasarkan pertimbangan non yuridis;
2. Mendakwakan suatu pasal hanya untuk mendukung/dasar pembenaran penahanan walaupun perbuatan terdakwa sesungguhnya merupakan suatu tindak pidana yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan penahanan;
3. Pasal yang didakwakan tidak tepat dan atau keliru memilih bentuk surat dakwaan;
4. Rumusan dakwaan tidak jelas, bahkan menambah unsur unsur yang tidak merupakan unsur dari pasal yang didakwakan;
5. Melimpahkan berkas perkara yang terdakwanya dikualifisir sebagai pembantu mendahului berkas perkara yang terdakwanya dikualisir sebagai pelaku utama;
6. Melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri padahal tidak memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan.

Langkah langkah antisipatif terhadap munculnya kasus kasus bermasalah dimaksud berupa petunjuk, telah banyak dikeluarkan oleh Pimpinan Kejaksaan dalam berbagai bentuk tata naskah, mulai sejak diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Penelitian Berkas Perkara Hasil Penyidikan, Pembuatan Surat Dakwaan, Pembuatan Surat Tuntutan Pidana, Pengajuan Upaya Hukum sampai dengan Pekiksanaan Putusan Pengadilan, dan lain lain yang ada hubungan dengan penanganan dan penyelesaian suatu kasus/perkara, namun masih saja terjadi permasalahan/ kegagalan didalam penuntutan. Berdasarkan penelitian dan penilaian, munculnya kasus-kasus bermasalah tersebut antara lain disebabkan karena :
1. Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan tidak berupa mempelajari tata naskah yang berkaitan dengan penanganan dan penyelesaian perkara yang telah didistribusikan ke daerah;
2. Jaksa Penuntut Umum kurang menguasai peraturan perundang undangan yang bersangkutan baik hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil;
3. Jaksa Penutut Umum, tidak sungguh sungguh mempelajari berkas perkara hasil penyidikan;
4. Jaksa Penuntut Umum lebih mengandalkan pendekatan dengan Hakim;
5. Kurang profesional dan melemahnya integritas kepribadian dari Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan;
6. Sikap mental Jaksa Penuntut Umum yang kurang baik;
7. Lemahnya pengendalian dan pengawasan terhadap penanganan dan penyelesaian suatu perkara, oleh atasan yang bertanggung jawab
Bahwa kegagalan penuntutan serta terjadinya kasus kasus bermasalah dapat menimbulkan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada aparat Kejaksaan serta dapat mengurangi citra dan wibawa Kejaksaan.
Untuk menghindari terjadinya hal hal seperti itu dimasa mendatang maka sebagai tindak lanjut hasil Rapat Kerja Tindak Pidana Umum Tahun 1995, bersama ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Agar Kepala Kejaksaan Tinggi/asiten Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Negeri/Kasi Tindak Pidana Umum dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri pengendalian dan pengawasan terhadap penanganan dan penyelesaian perkara yang ditangani oleh para Jaksa didalam daerah hukumnya mulai dan tahap Pra Penuntutan sampai dengan Eksekusi agar para Jaksa mematuhi semua petunjuk teknis yang telah diberikan oleh Pimpinan sehingga terhindar dari permasalahan yang tidak perlu terjadi
2. Khususnya penanganan dan penyelesaian kasus/perkara penting dan menarik perhatian masyarakat, supaya didiskusikan melalui dinamika kelompok sesuai dengan maksud lnstruksi Jaksa Agung R.I. Nomor : INS 008/ JAM 992 tanggal 25 Mei 1992 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kualitas dan Kemandirian Jaksa Melalui Dinamika Kelompok. Untuk mencegah terulangnya kegagalan atau munculnya masalah didalam penuntutan dimasa mendatang, bersama ini kami lampirkan daftar beberapa contoh kasus/perkara bermasalah ataupun yang gagal didalam penuntutan.

Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya

JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA UMUM

ttd

I.N. SUWANDHA, SH

Tembusan:
1. YTH. BAPAK JAKSA AGUNG R.I.
(sebagai laporan)
2. YTH. BAPAK WAKIL JAKSA AGUNG R.I.
3. YTH. PARA JAKSA AGUNG MUDA
4. A R S I P.


KASUS KASUS BERMASALAH

No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
1 Name : MARHTEN KAMLASI
Umur : 17 tahun.
Pekerjaan : Penjual kue
Pendidikan : SD
Agama : Kristen Protestan PENCEMARAN HOSTIA

Pada tanggal 20 Desember 1994 sekitar ism 18.30 Wita bertempat di Gereja Onekora Endo, Marthen Kamiasi mengambil bagian dalam miss yang diadakan oleh umat ketholik. Pada saat Marthen Kamlasi menerima hostia dari Buster, hostia digenggam ditangan kanannya dan tidak langsung dimokannya, tetapi dibawa ketempat duduk yang mengakibatkan hostla hancur berkeping tiga Umat katholik yang berada disekitarnya secara spontan memukuli dan monganiaya Marthen Kamelasi sorts kemudian menyerahkan kepada Polisi untuk diusut karena ialah melakukan penodaan terhadap agama Khatolik
a. Pasal yang dipersegkakan/ didakwakan :
Pasal 156 a KUHAP jo UU No. 1/PNPS/ 1965
b. Penyelesaian Perkara
Karena desakan umat Katholik setempat dan kesepakatan Muspida Tingkat I Tahun 1985, perkara tersebut ialah dilimpahkan ke Pengadilan. Jaksa Penuntut Umum dan Kepala Kejaksaan Negeri mengusulkan dituntut 3 tahun 6 bulan, kemudian kepada Kejaksaan Tinggi memberikan petunjuk agar terdakwa dituntut 1 tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 5 Mei 19%, 4, menghukum terdakwa 5 tahun penjara.

- Pelimpahan perkara ke Pengadilan yang didasarkan pada adanya kesepakatan Muspida Tingkat I tahun 1995 bahwa tindakan menggenggam dan Walk memakan hostla pada waktu masa dianggap sebagai perbuatan pencemaran hostla dan karenanya harus dituntut 166 a KUHAP adalah tidak relevan. Sebenarnya harus dilakukan penilaian kasus per kasus apakah memenuhi unsur unsur deteliti sebagaimana diatur dalam pasal 156 a KUHP.
- Dalam perkara Marthen Kamiasi dengan memperhatikan usia dan pendidikan terdakwa, menjadi pertanyaan apakah unsur dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu age= terpenuhi atau tidak
Hostisia bagi umat Katholik merupakan sesuatu yang sakral.






KASUS KASUS BERMASALAH

No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
- Menjadi pertanyaan, apakah dengan penyelesaian melalui Pengadilan atas kasus tersebut akan dapat menyelesaikan masalah atau tidak Didaerah tersebut banyak terjadi kasus sejenis
- Sebelum melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan, perlu dilakukan pendekatan dengan Gerja/keuskupan dan Muspida sort& Instansi terkait dan pemuka masyarakat, agar akar permasalahannya dapat diselesaikan dan perlu diberikan penjelasan bahwa terhadap kasus Hostia tersebut penerapan pasal 156a KUHP tidak sepenuhnya tepat Dengan demikian kebijaksanaan penuntutan tidak ditentukan oleh emosi masyarakat atau pihak lain, tetapi sepenuhnya berada ditangan Kejaksaan.
-


KASUS KASUS BERMASALAH

No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
2 NAMA : ILHAM
UMUR : 17 TAHUN
Agama : Islam
KASUS PERKARA PERKOSAAN TERHADAP ERNAWATI UMUR A TAHUN
Pada tanggal 30 Juli 1994, di Dose Janti Gankse Kecamatan Mandel Kabupaten Maros, Ilham telah manarik dan membaringkan Ernawati secara paksa dan kemudian menyetubuhinya. Karena Ernawati menangis dan meronta, Ilham menutup mulut dan hidung korban dengan tangannya sehingga korban meninggal dunia (menurut visum dokter, korban meninggal dunia karena kegagalan pernapasan). Selanjutnya dari tempat kejadian, Ilham pulang ke rumahnya untuk mandi dan kemudian kembali lagi ketempat kejadian, mengambil anting anting korban dann kemudian menyembunyikan mayat korban.

a. Pasal Mang disangkakan didakwakan

Kesatu :
Primair Pasal 339 KUHP
Subsidair Pasal 338 KUHP

Kedua :
Primair Pasal 365 ayat 3
KUHP
Subsidair Pasal 362 KUHP

Ketiga :
Primair Pasal 291 ayat 2
KUHP jo
Pasal 285 KUHP
Subsidair Pasal 291 ayat 2
jo Pasal 287
KUHP
b. Penyelesaian Perkara
- Jaksa Penuntut Umum menanyakan dakwaan kesatu, kedua dan ketiga Primair terbukti dan menuntut terdakwa dijatuhi pidana seumur hidup.
- Hakim dengan pertimbangan yang sama memutuskan terdakwa dipidana 20 tahun penjara.
- Sepintas selalu dapat diperkirakan bahwa Jaksa Penuntut Umum berhasil dengan sukses menyidangkan perkara Ini. Namun dengan memperhatikan kasus posisi dan dakwaan Jaksa, konstruksi dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum tidak sepenuhnya tepat;
- Dari kasus posisi dapat kita ketahui bahwa maksud terdakwa menarik dan membaringkan Ernawatl ketempat tidur adalah untuk menyetubuhi secara paksa atau memperkosa dan karena maksud terdakwa terganggu maka mulut dan hidung korban ditutup dengan tangannya Yang kemudian mengakibatkan korban meninggal.
Dari kasus posisi tidak nampak bahwa pembunuhan terhadap korban dilakukan dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan tindakan pidana lainnya misalnya mencuri anting anting
Dengan demikian penerapan pasal 338 KUHP tidaklah tepat.


No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
Mendakwakan pasal 365 ayat 3 KUHP Juga tidak tepat karena Perkosaan yang mengakibatkan me" korban tidak merupakan persiapan untuk memudahkan pelaksanaan tindak pidana lainnya yaitu pencurian anting.

Kalau toh mau menjoring (tentunya harus proporsional), masih mungkin didakwakan pasal 181 KUHP koma terdakwa ialah menyembunyikan mayat korban dengan maksud menyembunyikan kematian. Memperhatikan kasus posisi, konstruksi dakwaan yang tepat adalah

Kesatu :
Paul 291 ayat 2 jo pasal 286 KUHP

Kedua
Paul 362 KUHP

Ketiga
Pasal 181 KUHP










No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
3 Nama : NY. MUTIARI, S.H.
Pekerjaan : Pegawai PT. CPS
KASUS MARSINAH

Pada tanggal 5 Mei 1993 bertempat di Kantor PT. CPS Siring Porong tolah diadakan rapat yang dihadiri oleh Judi Susanto (pemilik PT. CPS) Judi Astono (Direktur PT. CPS) Widayat Bambang Wuryantoyo, AS. Prayogi, Suwarno, Ny. Mutiar, SH dan Karyono Wongso untuk membicarakan rencana melenyapkan Marsinah, karyawan PT. CPS yang aktif demontrasi/melakukan unjuk rasa terhadap manajemen PT. CPS. Kemudian pada tanggal 17 Mei 1993 telah diadakan pula rapat untuk penyekapan Marsinah di rumah Judi Susano, Ny. Mutiari SH sendiri tidak diberikan atau mendapat bagian tugas.

Ny. Mutiari SH mengetahui rencana tersebut, dengan sengala tidak melaporkan kepada yang berwajib a. Pasal yang disangkakan/ didakwakan
Primair : Pasal 341 (1) pasal 56 KUHP
Subsidair : Pasal 355 (2) jo pasal 56 KUHP
Lebih Subsidair : Pasal 353 (3) 10 pasal 56 KUHP
Lebih Subsidair
Lagi : Pasal 165 (1) KUHP

b. Penyelesaian Perkara
Jaksa Penuntut Umum menyatakan dakwaan Primair terbukti dan menuntut agar terdakwa dijatuhi pidana 22 bulan
Pengadilan menentukan terdakwa bersalah melanggar pasal 105 KUHP dan menghukum terdakwa 9 bulan penjara.

- Sebenarnya kepada Jaksa Penuntut Umum Ialah diberi petunjuk agar tidak mendakwakan pasal 340 KUHP jo 58 KUHP karena perbuatanperbuatan Ny. Mutiari atas pembunuhan berencana terhadap MARSINAH tidak secara nyata nampak dalam kasus Ini demikian juga halnya dengan dakwaan subsidair dan lebih Subsidair. Dengan atasan bahwa tolah dilakukan pendekatan dengan Majelis Hakim, Ketua Pengadilan Negeri bahkan telah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Tinggi, rencana dakwaan tersebut tetap dipertahankan.
- Pada waktu regulator Jaksa hanya menuntut hukuman 22 bulan penjara dengan alasan ada pasien dari Majelis Hakim agar jangan menuntut tinggi tinggi.
- Penerapan pasal 56 jo pasal 340 KUHP sebenarnya hanya untuk menjustifikasi penahanan terhadap terdakwa oleh Penyidik (dalam kasus ini Panyidik di Praperadilan)


No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
Dari segi taktis pelimpahan perkara, make perkara Ny. Mutiari SH tidak tepat diajukan poling dulu, dimana Kepala Kejaksaan Negeri tampil sebagai Jaksa Penuntut Umum padahal ada keterlibatan terdakwa lain yang lebih banyak peranannya.
4 Nama : Kode Bin Gulih Kasus pembabatan Hutan

Lindung

Antara bulan September 1993 sampai dengan April 1994 terdakwa bertempat didalam kawasan hutan Taman Nasional Rowe Aopa Watumahol, Does Gunung Jaya Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka, dengan sengaja menebang merambah dan membakar pohon pohon yang terdapat dalam kawasan Hutan Nasional tersebut, yang mengakibatkan terbakar dan perubahan Zone Inti Taman Nasional tersebut selama + 9 hari.
a. Pasal yang dipersangkakan didakwakan
Primair pasal 33 ayat 1. 2. 3 jo pasal 40 ayat 1, 2 UU No 50 tahun 1990
subsidair pasal 6 ayat 1. 2 jo pasal 18 ayat 2 PP No. 28tahun 1985
b. penyelesaian perkara ,
- Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa untuk dakwaan Primair dan menyatakan dakwaan subsidair terbukti dengan menjatuhkan pidana 10 bulan penjara dengan ketentuan 1 (satu) bulan segera dijalankan sedangkan 9 (sembilan) bulan lainnya tidak perlu dijalankan kecuali bila dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Pengadilan bahwa Terpidana melakukan tindak pidana yang "me sebelum masa percobaan selama 12 (dua belas) bulan berakhir.
- Jaksa Penuntut Umum langsung menyatakan Kasasi.
- Seyogyanya pelaksanaan pidana pokok tidak dipisah pisah.
- Seharusnya dalam perkara Ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan bandingan terlebih dahulu sebelum menyatakan kasasi sesuai ketentuan pasal 43 UU No. 14 tahun Ion tentang Mahkamah Agung.
- Kalau toh mau kasasi adalah kasasi demi kepentingan hukum yang menjadi wemenang Jaksa Agung atau meminta fakta kepada Mahkamah Agung.



No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
5 Nama : Dra. H.A.M Hoolissoolhooll.
Umur : 86 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Rektor IISIP Jakarta
Kasus pelecehan seksual
Terdakwa melakukan perbuatan cabul kepada bawahon atau muridnya masing masing bernama.
- Dra. Dyah Sintarini sebanyak 8 (delapan) kali sejak Maret 1987 dan terakhir pada tanggal 10 Juni 1991 baik diruang kerja terdakwa ataupun diruang kerja saksi korban.
- Dra. Hanni Ankle Peggy, sebanyak 16 kali, pertama pada tanggal 23 Mei 1984 dirumah kontrakannya ketika Ia masih perawan don terakhir pada bulan Juni 1991 diruang kerja saksi korban ketika ia sedang mengandung anaknya yang ke 4.
a. Pasal yang disangkakan didakwakan :
Primair pasal 204 ayat (2) ke I jo pasal 64 ayat (1) dan pasal 65 KUHP
Subsidair pasal 294 ayat (2) jo pasal 84 ayat (1) dan pasal 85 KUHP

b. Penyelesaian Perkara
- Jaksa Penuntut Umum menuntut 1 (satu) tahun penjara,
- Majelis Hakim membebaskan terdakwa
- Dari hasil ekspose dan peninjauan lapangan sebenarnya berkas perkara Ini tidak memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan karena dari penyidikan yang tolah dilakukan belum dapat menyajikan sekurang kurangnya 2 (dua) alat bukti yang syah sebagaimana dimaksud pasal 183 KUHAP.
- Dari keterangan saksi korban/ pelapor masing masing berdiri sendiri
- 13 aksi lainnya tidak melihat sendiri atau mengetahui dengan pasti perbuatan yang didakwakan.
- Keterangan ahli tidak ada.
- Terdapat petunjuk berdasar keterangan 7 orang a" yang saling bersesuaian dengan keterangan saksi korban kecuali masalah waktu.






No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
6. Nama : Suherman bin Rony.
Pembunuhan terhadap Indah Kusumawati
Pada tanggal 22 Maret 1994 dirumah A. Brawijaya 5 Sukabumi terdakwa tolah menusuk leher korban dengan pedang samurai kemudian mengikat kedua tangan korban sehingga lemas dan banyak mengeluarkan darah yang mengakibatkan meninggalnya korban.
a. Pasal yang disangkakan
Primair pasal 340 KUHP
Subsidair pasal 336 KUHP
Lebih Subsidair pasal 351 (3) KUHP
b. Penyelesaian
- Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa dakwaan primair terbukti dengan menuntut terdakwa dijatuhi pidana 13 tahun penjara.
- Majelis Hakim membebaskan terdakwa.

- Terdakwa mungkir
- Perkara Ini agak diforsil pelimpahannya berdasarkan berbagai pertimbangan (faktor non yuridis lebih dominan).
- Dari hasil penelitian berkas perkara memang dapat diketahui bahwa aft 3 (tiga) alat bukti berupa :
- Jaksa Penuntut Umum tetap menuntut hukuman berdasarkan hasil pendekatan kepada kedua Anggota Majelis Hakim ternyata pendapat Ketua Majelis lebih menentukan.
- Hasil pemeriksaan atas sidij Jeri tangan dan telapak kaki yang ada di TKP ada kesamaannya dengan sidik Jari dan telapak kaki terdakwa.
- Node darah yang ada pada celana terdakwa ternyata termasuk golongan darah 8 yang sama dengan golongan darah korban yang dikuatkan oleh keterangan ahli.







No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
- adanya petunjuk dari beberapa saksi bahwa pada saat terjadinya pembunuhan terdakwa baru nampak di toko tempatnya bekerja pada jam 10.00 WIB padahal biasanya terdakwa sudah berada di. tempat kerjanya pada jam 07.00 WIB
- Terdakwa tetap mungkir.
- Dalam rangka penelitian berkas perkara Jaksa tidak memberi petunjuk agar dilakukan pemeriksaan terhadap bekas sidik Jeri yang ada pada pedang yang diduga digunakan sebagai alat untuk membunuh termasuk sarung pedang yang ditalinya digunakan untuk mengikat lengan korban.
- Tidak pernah diberikan petunjuk kepada penyidik untuk memeriksakan golongan darah terdakwa padahal terdakwa dalam keterangannya menyatakan bahwa nods darah yang ada pada celananya adalah akibat luka pada kemaluannya karena salah menarik resleting celananya.








No. IDENTITAS TERSANGKA KASUS POSISI PENYELESAIAN PERMASALAHAN KET.
1 2 3 4 5 6
- Uraian unsur dengan sengaja baik mengenai dakwaan primair maupun subsidair kurang disusun secara cermat misalnya dengan kalimat
- bahwa tusukan dilakukan dengan menggunakan sebilah pedang dan diarahkan pada sasaran yang mematikan yaitu leher dan perut korban sehingga karena tusukan tersebut urat nadi dileher korban putus dan darah mengucur baik dari leher maupun dari perut korban sehingga tak lama kemudian meninggal koma kehabisan darah.
- Jaksa kurang mengantisipasi bahwa kemungkinan saksi menarik kembali keterangannya di sidang Pengadilan.
- Dalam pemeriksaan disidang Pengadilan penasehat hukum meminta agar dilakukan pemeriksaan terhadap darah Terdakwa dan ternyata golongan darah terdakwa termasuk golongan darah 8 sama seperti golongan darah yang ada pada celana terdakwa

Peranan Masyarakat Dalam penegakan hukum

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA

Nomor : B 185/E/5/1995
Sifat : -
Lampiran : -
Perihal : Peranan Masyarakat Dalam penegakan hukum

Jakarta, 3 Mei 1995
KEPADA YTH.
Para Kepala Kejaksaan Tinggi
Di -
SELURUH INDONESIA

Berdasarkan hasil pengamatan kami selama ini, ternyata, penegakan hukum belum telaksana sebagaimana mestinya, timbulnya kasus kasus Yang gagal di dalam penuntutan, atau kasus yang bermasalah, serta adanya perkara yang beRIarut larut penyelesaiannya karena sulit melengkapi alat bukti, selain disebabkan karena kekurang cermatan Jaksa PU atau aparat penegak hukum lainnya, penyebab lain adalah karena kurangnya peranan masyarakat dalam penegakan hukum antara lain :
a. Sebagian anggota masyarakat masih kurang menyadari akan kewaiiban/tanggung jawabnya didalam penegak hukum. Keadaan seperti ini menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan apabila mengetahui terjadinya suatu tindak pidana, termasuk mereka yang menjadi korban kejahatan, demikian juga menjadikan mereka acuh tak acuh untuk memberi dukungan kepada alat negara didalam penyidikan/ penyelesaian suatu perkara.
b. Kurang baiknya pelayanan terhadap masyarakat oleh aparat penegak hukum, hal ini menyebabkan banyak anggota masyarakat yang menjadi korban kejahatan, enggan melapor/ mengadu tindak pidana yang menimpanya karena pelayanan dan aparat penegak hukum kurang cepat serta kadang kadang kurang simpatik bahkan tidak jarang mereka merasa dipersulit Demikian juga mereka yang dipanggil sebagai Saksi, kadang-kadang diperilakukan seperti tersangka, misalnya harus menunggu berjam jam, diperilakukan kurang sopan dan sebagainya.
c. Tuntutan pidana atau hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa teRIalu ringan/tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
d. Adanya ancaman dari pelaku tindak pidana, hal ini menyebabkan anggota masyarakat menjadi takut melapor kepada penyidik atau diperiksa sebagai Saksi.

Sehubungan dengan hal hal tersebut diatas, sebagai tindak lanjut hasil Rapat Kerja Tindak Pidana Umum tahun 1995 bersama ini diberikan petunjuk sebagai berikut :
1. Manfaatkan setiap kesempatan untuk memberikan pengertian bahwa penanggulangan berbagai bentuk kejahatan yang merugikan dan meresahkan masyarakat bukan semata mata menjadi tanggung jawab aparatur penegak hukum tetapi juga menjadi tanggung jawab bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Meningkatkan pelayanan hukum terhadap masyarakat, khususnya terhadap para korban kejahatan dan mereka yang diperiksa sebagai saksi.
3. Mematuhi tertib waktu penyidangan perkara pidana berdasarkan Instruksi Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. Menteri Kehakiman R.I dan Jaksa Agung R.I Nomor: KMA/36/III/1981, Nomor : M.01.PW.07.10 Tahun 1981. Nornor : INSTR 001/JA/3/l981 tanggal 23 Maret 1981 tentang Tertib Penyidangan dan Penyelesaian Perkara perkara Pidana.
4. Meningkatkan kwalitas para Jaksa yang harus tercermin dalam perilaku yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan serta bersih, berwibawa, bertanggung jawab dan menjadi panutan di dalam masyarakat.
5. Mengajukan tuntutan pidana yang memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap setiap pelaku kejahatan, khususnya perkara perkara kejahatan dengan kekerasan. Untuk itu sejak tahap pra penuntutan Jaksa Penuntut Umum harus meneliti dan mempertimbangkan aspek aspek yang berkaitan dengan diri si pelaku antara lain :
- Motif dilakukannya tindak pidana
- Karakter pelaku
- Faktor faktor yang mempengaruhi sehingga terdakwa terdorong melakukan tindak pidana, yang meliputi faktor dari luar dan faktor dari dalam diri terdakwa.
6. Memberikan pengamanan terhadap korban kejahatan dan para saksi dari ancaman pelaku kejahatan, melalui koordinasi terpadu antara instansi terkait.

Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

JAKSA AGUNG MUDA
TINDAK PIDANA UMUM

ttd

I.N. SUWANDHA, SH

Tembusan:
1. YTH. BAPAK JAKSA AGUNG R.I.
2. YTH. BAPAK WAKIL JAKSA AGUNG R.I.
3. YTH. PARA JAKSA AGUNG MUDA
4. A R S I P

himpunan peraturan internal kejaksaan

JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP 033 / JA / 3 / 1993

TENTANG

EKSAMINASI PERKARA

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDOENSIA

Menimbang :
a.bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, maka Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang eksaminasi perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan ketentuan baru.
b.bahwa untuk memantapkan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan teknis juridis dan administrasi Jaksa/Penuntut Umum dalam pelaksanaan penyelesaian perkara yang dilakukanoleh setiap Jaksa/Penuntut Umum diperlukan Pembinaan, pengamanan teknis, pengendalian dan penilaian yang berkelanjutan.
c.bahwa untuk mencapai maksud tersebut, dipandang perlu mengeluarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Eksaminasi Perkara.

Mengingat :
1.Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (LN R.I. Tahun 1991 Nomor 59).
2.Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LN R.I. Tahun 1981 Nomor 76);
3.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil;
4.Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (LN R.I. Tahun 1980 Nomor 50);
5.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
6.Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP 035/JA/3/1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
7.Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP 1 20/JA/1 2/1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG EKSAMINASI PERKARA


BAB. I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dengan Eksaminasi dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia ini adalah tindakan penelitian dan pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh setiap Jaksa/Penuntut Umum.

Pasal 2
Tindakan penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dapat dilakukan dengan melakukan :
(1)Eksaminasi Umum yaitu penelitian dan pemeriksaan terhadap berkas perkara yang telah selesai ditangani oleh Jaksa/Penuntut Umum dan sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
(2)Eksaminasi Khusus yaitu tindakan penelitian dan pemeriksaan terhadap berkas perkara tertentu yang menarik perhatian masyarakat atau perkara lain yang menurut penilaian pimpinan perlu dilakukan eksaminasi, baik terhadap perkara yang sedang ditangani maupun yang telah selesai ditangani oleh Jaksa/Penuntut Umum dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 3
Eksaminasi merupakan sarana pimpinan untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas/ penyelesaian suatu perkara pidana, baik dari sudut teknis yuridis maupun administrasi perkara.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 4
Maksud dari Eksaminasi adalah untuk:
(1)Memantapkan pelaksanaan tugas yang dilakukan setiap Jaksa/ Penuntut Umum;
(2)Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan teknis yuridis dan administrasi perkara Jaksa/Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas penyelesaian perkara pidana;
(3)Membina dan menumbuhkan rasa tanggung jawab Setiap Jaksa/Penuntut Umum dalam mengemban tugas yang dibebankan kepadanya agar dapat menjadi Jaksa/Penuntut Umum yang profesional, mandiri dan percaya diri.

Pasal 5
Tujuan Eksaminasi adalah
(1)Untuk meningkatkan profesionalisme baik segi teknis yuridis maupun administrasi perkara seorang Jaksa/Penuntut Umum dalam menerapkan hukum materi dan hukum formil dan ketentuan ketentuan lain yang berlaku dalam penyelesaian dan penanganan perkara;
(2)Mendapatkan bahan masukan berupa fakta dan data pelaksanaan hukum materiel dan hukum formil oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam penanganan perkara melalui tindakan penelitian dan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum tentang kemungkinan adanya kekurang sempurnaan atau kelemahan yang bersifat teknis yuridis dan administrasi perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara tidak leRIaksana sebagakmana mestinya.

BAB III
SASARAN

Pasal 6
Sasaran Eksaminasi adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan proses penanganan perkara mulai dari tahap penyelidikan, sampai dengan tahap pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN

Pasal 7
Jaksa Agung dalam memimpin dan mengawasi para Jaksa/Penuntut Umum memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau pejabat Win yang ditunjuk untuk melakukan eksaminasi umum atau eksaminasi khusus baik secara rutin maupun sewaktu waktu terhadap perkara tertentu yang menarik perhatian masyarakat atau terhadap perkara perkara lain yang dianggap perlu untuk diteliti dan diperiksa.

Pasal 8
Kepala Kejaksaan Tinggi dalam daerah hukumnya memerintahkan Wakil Kepala Kejaksaan Triggi atau melaksanakan sendiri atau memerintahkan Asisten Tindak Pidana Umum/Asisten Tindak Pidana Khusus atau pejabat lain untuk melakukan eksaminasi baik secara rutin atau sewaktu waklu apabila dianggap perlu terhadap perkara yang sedang ditangani maupun telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 9
Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri wajib mengirim ke Kejaksaan Tinggi 3 (tiga) berkas perkara tindak pidana umum, masing masing I (satu) berkas perkara dari setiap jenis kelompok, indak pidana umum, dan 3 (tiga) berkas perkara tindak pidana khusus masing masing I (satu) berkas perkara dari setiap jenis kelompok Tindak pidana khusus yang telah selesai ditangani/telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh masing masing Jaksa/Penuntut Umum untuk deksaminasi.

Pasal 10
Kepala Kejaksaan Tinggi wajib mengirimkan hasil eksaminasi perkara yang ditangani Jaksa/Penuntut Umum, beserta hasil penilaiannya ke Kejaksaan, Agung untuk bahan eksaminasi bagi masing masing Direktur di Kejaksaan Agung

Pasal 11
Berkas perkara sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 sudah diterima di Kejaksaan Tinggi selambat larnbatnya pada bulan Oktober dan hasil eksaminasi dari Kejaksaan Tinggi sudah diterima di Kejaksaan Agung selambat lambatnya bulan Desember tahun takwin.

Pasal 12
Dalam hal Kejaksaan Tinggi melakukan eksaminasi, maka hasil pelaksanaan eksaminasi dilaporkan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk selanjutnya diambil langkah tindakan guna meluruskan kembali hal hal yang menyimpang dari ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Dalam hal Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atau Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau pejabat lain yang ditunjuk melakukan eksaminasi hasil pelaksanaan eksaminasi dilaporkan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai bahan masukan untuk digunakan sebagai bahan evaluasi dan petunjuk berkenaan dengan hasil eksaminasi tersebut

Pasal 13

(1) Dalam hal hal tertentu bila dipandang perlu Kejaksaan Agung dapat memilih dan mengambil sendiri berkas berkas perkara yang telah dieksaminasi oleh Kejaksaan Tinggi untuk dilakukan eksaminasi ulang;
(2) Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi bila memandang perlu dapat. memilih dan mengambil sendiri berkas berkas perkara yang telah' memperoleh kekuatan hukum tetap di Kejaksaan Negeri atau Cabang Kejaksaan Negeri untuk dieksaminasi.

BAB V
HASIL EKSAMINASI

Pasal 14
(1) Hasil eksaminasi digunakan sebagai salah satu bahan penentu konduite, karier seorang Jaksa/Penuntut Umum;
(2) Dalam pemberian penilaian. pimpinan Kejaksaan memperhitungkan
a. pertimbangan tenting tingkat pendidikan, penataran, kursus, pengalaman jasa atau prestasi dan pengabdian Jaksa/Penuntut Umum tersebut;
b. kwantitas dan kwalitas perkara, sarana dan prasarana serta kondisi situasi setempat.

Pasal 15
Terhadap hasil eksaminasi sebagaimana dimaksud pasal 14, Jaksa/Penuntut Umum yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 16
Hal hal yang belum diatur dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia ini akan diatur lebih lanjut oleh Jaksa Agung Muda yang bersangkutan.

Pasal 17
Dengan berlakunya Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia ini maka Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER 001/JA/6/1983 tenting Eksaminasi Perkara dan Juklaknya dinyatakan dicabut.

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Maret 1993

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

ttd

S I N G G I H, SH.